Saatnya Peduli
Ruhama : Hari itu terdengar kabar bahwa Bilal bin Rabah, budak miskin yang hidup sebatang kara mengalami siksa tak terperi dari majikannya yang kafir. Di bawah sinar matahari yang membakar, di atas hamparan gurun sahara yang mendidih, ia ditidurkan terlentang oleh sang majikan laknat. Di atas dadanya yang kurus di timpuk batu besar, kaki dan tangannya terbelenggu rantai besi. Bukan hanya itu, sekali-kali sang majikan mencambuki tubuhnya yang tak berdaya.
Kemiskinan telah mengantarkannya menjadi budak seorang manusia kejam bernama Umayyah bin Khalaf. Seluruh iblis datang menggoda agar mengikuti saja keinginan sang majikan, mengingkari Allah dan Muhammad. Setelah itu, ia akan bebas dari perbudakan serta beroleh kekayaan yang banyak. Namun sang budak Bilal menolak dan tak bergeming sedikitpun. Diperkuat dirinya untuk tetap tegar menghadapi cobaan dengan zikir yang tak putus. “Ahad.............(Allah yang Maha Esa) Ahad..... Ahad......”, ucapnya setiap siksaan semakin memerih.
Akhirnya datanglah pedagang kaya itu. Pedagang besar yang sangat kaya di Makkah. Ia segera datang membeli sang budak dan membebaskannya dari ancaman yang sangat berbahaya. Berbahaya bukan hanya karena jiwanya yang terancam, bukan juga karena penderitaan tubuhnya yang semakin memilukan. Ia datang untuk menyelamatkan iman Bilal. Ditukarnya Bilal dengan budak Abu Bakar. Abu jahal menerima setelah dibayar dan diganti dengan budak musyrik miliknya.
Kisah di atas bisa menjadi pelajaran bagi bangsa ini, terutama kaum muslimin dalam menghadapi krisis yang semakin mencekik leher. Bilal bin Rabah ibarat masyarakat miskin yang berjuang melawan penderitaan hidup. Ia tak ubanhnya masyarakat miskin yang mempertahankan hidupnya dengan pilu yang menusuk-nusuk. Mereka hidup ibarat orang terbelenggu. Tak mampu berbuat apa-apa. Ditambah lagi semakin tidak bersahabatnya sang penguasa dengan melakukan tindakan yang tak jarang membuat mereka semakin menderita.
Bila mereka mati dalam penderitaan itu, mungkin tidak akan terlalu menyedihkan. Bagi seorang muslim kematian adalah hal yang dinanti, dengan kematian itu ia akan bertemu Allah, dengan kematian itu pula berakhir seluruh derita dunianya berganti bahagia menanti nikmat surga di alam kubur.
Hal yang sangat disedihkan adalah jika kematian atau bahkan kehidupan itu mengantarkan ia mengingkari Tuhan dan mendurhakai Allah. Yang disedihkan jika sang miskin harus bunuh diri karena tak kuasa menahan derita. Atau sang miskin menggadai iman demi memenuhi tuntutan hidup yang sulit. Atau melakukan tindakan kriminal demi sesuap nasi. Atau juga menjual harga diri demi mengisi perut anak-anaknya. Tindakan ini adalah durhaka dan dosa besar. Harus dijauhi.
Disinilah letak permasalahannya, karena selalunya kemiskinan dan penderitaan erat dengan pengingkaran terhadap Allah. Dekat dengan dosa dan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sebuah ungkapan Arab mengatakan “Idza qala al faqru inni dzahibun ila baladin, qala lahu al kufru; hudzni maak” (jika kefakiran–kemiskinan- berkata, saya akan berangkat menyengsarakan sebuah negeri, berkatalah kekafiran, bawalah saya bersamamu). Di sebuah hadisnya Rasulullah mengatakan “Kada al faqru an yakuna kufran” (hampir-hampir kefakiran itu mengantarkan ke kekafiran).
Oleh karena itu di sini, di saat yang menakutkan ini, kita butuh orang-orang seperti Abu Bakar, pedagang kaya yang disebutkan di atas sebagai pemerdeka Bilal dari kungkungan perbudakan. Mengangkatnya dari kemiskinan yang melilit hidup. Membebaskan dari penderitaan yang tak berperi. Kita menginginkan orang yang memiliki tanggung jawab tinggi terhadap masyarakatnya. Masalah kemiskinan bukan hanya tanggung jawab negara.
Tidak semata tanggung jawab pemerintah. Kemiskinan adalah rmasalah yang tiap anggota masyarakat dalam sebuah komunitas mesti bersama-sama memberi solusi menanggulanginya, wajib.
Kemiskinan adalah musuh, musuh semua manusia. Sejak empat belas abad yang lalu, Islam telah mengumumkan genderang perang untuk mengentaskan kemisikinan. Bukan hanya mengumumkan perang, Islam juga telah memberikan solusi dan senjata ampuh untuk memberantas petaka ini.
Salah satu dari sekian banyak solusi yang diberikan adalah memberikan dorongan tinggi pada mereka yang berada dalam kondisi berkecukupan agar tidak hidup hanya dengan dirinya sendiri. Mereka mesti memperhatikan kondisi lingkungan sekelilingnya. Hal inilah yang sangat di fahami Abu Bakar. Dengan pemahaman dan dorongan yang diberikan itu, setiap ia mengetahui seorang muslim mengalami nasib tidak bersahabat, segera ia memberi pertolongan walau harus mengorbankan dirinya sendiri.
Pada waktu lain, saat Rasulullah menganjurkan para sahabatnya berinfak dan bersedekah, tampillah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Saat ditanya apa yang engkau sisakan untuk keluargamu, Abu bakar menjawab, “Aku sisakan pada mereka Allah dan Rasulnya”. Dan, sejarah tidak pernah mencatat Abu Bakar bangkrut dengan kedermawanan itu. Lebih hebat lagi, Rasulullah menjamin surga untuknya. Lain waktu Rasulullah berkata, “Andaikan iman seluruh penduduk dunia ditimbang dengan imannya, iman Abu Bakar masih lebih berat”.
Kini, di zaman ini, yang banyak orang hidup individualis tanpa mau peduli dengan lingkungannya tentu sangat sulit mencari orang seperti beliau.
Namun, walau demikian bukan berarti tidak ada orang yang bisa sepertinya. Banyak, semua bisa seperti beliau. Selama ia mau berusaha dan melatih diri untuk kesana. Layaknya keahlian, kemampuan untuk peka terhadap kondisi lingkungan dan hidup saudara yang lain adalah sebuah hal yang mesti dipelajari. Mesti dibiasakan. Seperti kita mencari ilmu sedemikian kita mesti berlatih membina diri untuk peduli.
Posted by Ruhama
on 03.33. Filed under
Aksi sosial RUHAMA PEDULI,
Berita,
Headline
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response